2 Jul 2011

Pertanyaan Terakhir Sang Malaikat

Aku mencabuti bulu satu per satu yang menyusun sayap di punggungku, meninggalkan urat-urat yang sebelumnya memeluk erat. Memalingkan wajah dari lembut binarnya surga, kupandang gejolak merah api neraka di depan sana. Aku terbang perlahan, sambil menekuri bagaimana dimensi surga dan neraka dipisahkan oleh kabut-kabut tipis membayang, mungkin takkan terlihat oleh mata telanjang, tapi aku bisa dengan jeli memetakannya. Neraka hanya tinggal beberapa jengkal di hadapanku. Panasnya menguar tanpa ampun.

Seakan menyaingi neraka itu, determinasi bergaung kencang di kepalaku. Memintaku cepat-cepat menceburkan diri ke dalam lidah-lidah api yang membara. Aku terhenti sejenak. Menimbang untuk yang terakhir kali, dan memanggil lagi alasanku.

Atas dasar apakah aku memutuskan hal ini?

Pertanyaan retoris. Detik berikutnya, kalbuku sendiri menyahut.

Kalian, para manusia, sudah terlalu banyak mempengaruhiku--yang selama ini bertengger di pundak kalian, berusaha membisikkan sisa-sisa kebaikan yang mungkin bisa memutar balik keadaan. Namun pada akhirnya kalian hanya akan mengacuhkanku, lalu menuruti hawa nafsu semata. Kalau kalian bisa berbuat seperti itu, maka aku juga bisa. Bukankah pada intinya aku dan kalian sama-sama makhluk? Seharusnya hak kita sama. Maka aku juga akan memilih neraka di atas surga. Mendobrak hakikat yang paling mendasar.

Kuayunkan tubuhku saat panas neraka mulai menjilat gaun satin yang kukenakan.

Tak usah menunggu sampai kalian berkedip membaca kata selanjutnya di catatan ini, maka diriku sudah jatuh ke dalamnya. Jangan berpikir untuk mengulurkan jemari dan menggapai tanganku. Diamlah. Saksikan perlahan, bagaimana ragaku melebur jadi satu bersama kumpulan tulang dan kenangan milik jiwa-jiwa terhina lainnya.

Sampai batas terakhir, bahkan seorang malaikat sepertiku memutuskan untuk menyatu dengan neraka, dan menorehkan sejarah atas namaku dengan tinta yang kelam. Jangan salahkan aku. Bukan aku yang terlalu lemah sampai melakukannya, tapi aku hanya ingin tahu.

Seberapa nikmatnyakah dosa hingga setiap hari kalian mencecapnya dengan senyum terulas sempurna?

Tidak ada komentar: