Terjadi kegaduhan di sebuah pengadilan negeri yang sedang menyidangkan perkara korupsi mantan pejabat tinggi negara. Seorang saksi, bernama Soleh diajukan pengacara terdakwa. "Sdr. Saksi, apakah Anda mengenal saya"? tanya sang pengacara.
"Tentu saja, Martin. Bahkan sejak kau masih memakai popok. Justru saya kaget melihat kau sekarang. Kau anggap dirimu sudah jagoan? Padahal kau tak lebih baik dari penjahat licik. Dari kecil kau suka nyolong mangga tetangga. Bahkan minggu lalu berusaha menyuapku agar memberikan keterangan sesuai kemauanmu. Kasihan almarhum ibumu pasti menangis menyaksikan anaknya seperti ini".
"Maaf, Sdr. Saksi". Martin menginterupsi penjelasan saksi lantaran pengunjung mulai riuh dan berisik. "Tolong jawab pertanyaan dengan singkat. Apakah Anda juga mengenal Sdr. Jaksa penuntut umum?" ujar Martin sambil menunjuk jaksa yang duduk di seberang.
"Ya. Saya juga kenal. Dia adalah Willy si tukang tipu". Mendengar itu pengunjung sidang tambah gaduh. "Dalam banyak hal Willy itu selalu jujur. Bayangkan, ia membayar orang lain untuk menggarap skripsinya. Saya juga tahu ia memeras terdakwa agar terbebas dari tuntutannya kan?"
Yang ditunjuk kontan pucat pasi. Di tengah cemooh para pengunjung sidang, sang jaksa menutup muka dengan kedua telapak tangannya.
Untuk menertibkan jalannya persidangan, hakim mengetok palu di meja. "Tolong catat, bila Sdr. Pembela juga menanyakan kepada saksi apakah mengenal saya" , gertak sang hakim. "Saya akan menuntut saudara karena contempt of court. Mengerti!"
Ilustrasi di atas seakan mengatakan, hukum itu seperti sarang laba-laba yang dapat menangkap lalat, tetapi membiarkan para elang penjaganya mempermainkan jaring-jaringnya untuk menerobos. Bagaimana mau mengusung semangat fiat justitia, ruat caelum (keadilan harus ditegakkan, sekalipun langit akan runtuh), bila pengadilan pun masih harus "diadili" oleh masyarakat pencari keadilan?
Just share :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar